Ini nih, novel yang membuat saya, membangkitan kebiasaan lama saya untuk berpetualang dengan naik gunung Arjuna dengan kawan2 M 53.hahahaha but I like that !
Secara garis besar, buku ini berisi petualang langsung dari penulisnya. Dengan bahasa yang mudah dimengerti, novel ini mengjak kita para pembaca untuk merasakan sendiri dengan imaginasi kita mengenai tempat2 yang selama ini tidak pernah di singgung apa pun di dunia.
Dalam ceritanya, Gus Weng (sapaan Agistinus) mengajak saya untuk berimajinasi dan merasa berinteraksi dengan masyarakat Asia Tengah, bergerak dalam dinamikanya. Menyatu. Melebur. Menghilang di tengah pada salju putih yang berkilauan ditempa matahari, terkepung oleh gunung-gunung sebagai atap dunia diTajikistan , lunglai dalam vodka di Kirgiztan , melihat dua orang yang beradu kasih di atas salju diKazakhstan , takzim dalam seni Persia di Uzbekistan , melihat keindahan yang megah namun kosong dan artifisial di Turkmenistan .
Sungguh novel yang jenis baru bagi saya, but i enjoy it. Cocok juga buat kalian yang suka traveling yang murah dan menantang. selain garis batas, Sang penulis juga udah pernah berbitin buku petualang yang mirip yaitu 'selimut debu' tetapi saya juga belum baca juga. jadi nanti2 dulu deh .. semoga bisa beli #hehehe
langsung aja, dari awal membaca buku ini, mas agustinus ini menjelaskan alasan pemilihan judul 'garis batas'. Garis batas itu bukan sekedar garis batas biasa,, Pola pikir kita, uang yang kita pegang, bendera yang berkibar, kebanggan yang melingkup hati, sejarah yang kita kenang, saudari-saudari yang kita sebut sebangsa, kartu identitas, pendidikan status, ideologi, nasionalisme , petriotisme, perjanjianm traktat, perang , pembantaian etnis, kehancuran, semuanya merupakan produk garis batas. #hlmn 7
Sebagai pembaca kita akan melihat bahwa sosok agustinus ini merupakan backpacker yang handal, punya pemikiran yang multidimensi dan sangat cerdas dalam mengungkapkan 'sesuatu' menjadi orang tertarik untuk lebih mengetahui.
Agustinus bertindak lebih jauh daripada sekedar mengumpulkan informasi teknis dan menjadikan bukunya just another Lonely Planet. Agustinus mengangkat bukunya menjadi sebuah karya sastra, sebuah "literatur perjalanan", bukan hanya "buku jalan-jalan". Kisah-kisah kesehariannya sebagai seorang perantau di tanah Stan, dijalin secara apik dengan pengetahuan agama, sejarah, dan budaya, baik setempat maupun dunia. Bagi yang tidak suka digurui, buku ini tidak menggurui. Buku ini justru mengajak kita untuk membuka mata serta pikiran terhadap sekumpulan negara Islam bekas Soviet yang kini menjadi bangsa-bangsa yang enigmatik, tidak terjamah, tidak terwakilkan dalam pentas global, namun ada dan bersikeras untuk hidup.
di bagian awal anda akan dijelaskan mengenai garis batas negar-negara yang berakhiran 'stan' ini pecahan dari Uni Soviet yang dulu pernah menjadi negara adidaya. Tajikistan yang berseberangan dengan Afganistan yang hanya dipisahkan oleh sungai Amu Darya yang lebarnya hanya 20 meter namun menjadi pembatas yang membuat penduduk dari keduanya untuk menjadikan melewati batas tersebut merupakan hal yang sangat 'terlarang'. Namun untuk penduduk asing seperti agustinus tidak ada kata larangan tersebut, bukan berarti juga mudah begitu saja. Diperlukan proses birokrasi yang panjang, yang ternyata masih banyak juga proses suap-menyuapnya. Saya kira hanya negara kita saja yang hebat melakukannya #hehehehe
Tajikistan
Tidak mudah bagi Agustinus untuk masuk ke negara ini. Dari Afganistan yang kehidupannya masih cenderung primitif, dengan kendaraan keledai seperti pada zaman para nabi. Medan yang ekstrem berupa padang gurun dan pegunungan yang tak terjamah dan kemajuan teknologi tak terlihat sama sekali. sangat jauh berbeda sekali banget dan sangat #busyet dah# dengan Tajikistan seperti perumpaan sudah bukan lagi seperti langit dan bumi melainkan langit dengan sumur, jauh sedikit lebih dalem#hehehe
Kirgistan
Kirgiztan yang mencoba terlepas dari jeratan budaya Rusia namun tidak bisa. Kirgiztan harus kembali lagi menggunakan bahasa Rusia di negaranya.
##"Di antara negara-negara baru yang berkoar tentang nasionalisme, Kirgiztan masih sulit melepaskan diri dari masa lalunya di bawah Uni Soviet. Di ibu kota negeri ini, bahasa nasional Kirgiz nyaris tak terdengar. Semua orang--termasuk bangsa Kirgiz--bicara bahasa Rusia, yang bari mereka terdengar lebih intelek daripada bertutur dalam bahasa kaum nomad.Bahasa nasional adalah perjuangan besar untuk mempertahankan eksistensi dan jati diri. Sementara di belahan lain Asia, pemimpin dan rakyatnya malah bangga bisa menyelipkan kata dan kalimat bahasa asing, sebagai lambang dan kecerdasan kemajuan berpikir, tertimbun oleh kekaguman dan pemujaan peradaban asing--secuil superioritas dari sindrom inferioritas bangsa terjajah." (2011:177-179)
Saya juga suka cara Agustinus melihat masyarakat, keadaan kota, politik, agama, dan budaya dari berbagai segi. Rasa humornya yang kering ("dry wit") cukup berhasil menambah bumbu kemalangan dalam kisah-kisahnya. (Jangan heran, buku ini memang dipenuhi dengan kemalangan, kesederhanaan, kesialan, dan ke- ke- lainnya yang membuat jantung berdebar)
Tidak akan menyesal membaca buku ini. Saya memang belum pernah melihat sendiri negeri-negerinya, tetapi saya pikir, Agustinus has done them justice :)
Akhirnya, buku ini memberikan sebuah wawasan bahwa dunia yang bisa dikunjungi bukan sekadar Amerika, Jepang, Prancis, dan Singapura. Ada belahan dunia lain yang layak dicicipi dan dirasakan aura kedahsyatannya. Justru, negara-negara itulah yang berabad-abad silam jadi pusat peradaban dunia
Wah maaf teman2, review cuma segini aja, saya lagi khilaf pengen belajar buas UAS,,hehehehe
tunggu kelanjutannya di part 2 atau ampe 3.
Terima kasih :)
Keep learning and keep growing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar